A. Definisi malaria
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronis yang disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin menggigil), demam berkepanjangan yang naik turun, anemia dan pembesaran limpa.
B. Epidemiologi
Di Indonesia, penyakit malaria ditemukan tersebar di seluruh kepulauan, terutama di Kawasan Timur Indonesia. Daerah yang sejak semula bebas malaria ialah Pasifik tengah dan selatan (Hawai dan Selandia Baru). Di daerah tersebut siklus malaria tidak dapat berlangsung karena tidak terdapat vektor.
Malaria di daerah endemi terdapat secara autokton (indigenous malariae) karena siklus hidup parasit malaria dapat berlangsung (terdapat manusia, nyamuk dan parasit).
Penularan malaria terjadi pada sebagian besar zona tropis. Meskipun di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa Utara, saat ini bebas dari malaria indigenous, wabah-wabah lokal telah terjadi melalui infeksi nyamuk-nyamuk lokal oleh pendatang dari daerah endemis.
Malaria di suatu daerah berbeda dengan daerah lain karena :
1. Faktor manusia (ras).
2. Faktor vektor (nyamuk anopheles)
Di Indonesia terdapat beberapa vektor yang penting (spesies anopheles), yaitu: A. Aconitus, A. Maculatus, A.Subpictus yang terdapat di Jawa dan Bali ; A. Sundaicus, dan A.Aconitus di Sumatera ; A. Sundaicus, A. Subpictus di Sulawesi ; A.Balaba Censis di Kalimantan ; A. Farauti dan A. Punctulatus di Irian Barat.
3. Parasit (di beberapa daerah parasit telah kebal terhadap obat anti malaria).
4. Faktor lingkungan yang mempengaruhi siklus biologi nyamuk. (Umar Zein, 2005)
C. Vektor
Ciri-ciri nyamuk Anopheles betina vektor malaria:
1. Pada bagian sayapnya terdapat gambaran belang hitam dan putih.
2. Bagian ekornya lebih runcing dari pada nyamuk Aedes Aegypti vektor DBD.
3. Tempat bertelur bervariasi dan pada umumnya di daerah rawa-rawa (air kotor) misalnya sawah, tempat ikan, lumpur, saluran irigasi, kebun kangkung, kolam, dan sebagainya.
4. Telurnya diletakkan satu persatu pada permukaan air berbentuk seperti perahu dan mempunyai sepasang pelampung pada sisi sampingnya.
5. Menggigit umumnya pada saat senja sampai malam hari.
6. Larva / jentiknya tampak mengapung sejajar pada permukaan air.
7. Di dalam rumah, nyamuk Anopheles beristirahat pada dinding rumah, tanaman, kandang binatang, tempat-tempat dekat tanah dan di tempat yang agak tinggi.
![]() |
D. Etiologi
Terdapat sekitar 170 spesies plasmodium yang dikenal tapi hanya 4 yang menjadi penyebab malaria pada manusia yaitu:
1. Plasmodium Falciparum
Dulu dikenal sebagai “Subtertian atau malaria tertiana maligna”, merupakan spesies yang paling mematikan dan jika tidak diobati dapat fatal dalam beberapa hari sejak awitan. Merupakan penyebab malaria Tropika/malaria Serebral.
2. Plasmodium Vivax
Spesies ini dapat tersembunyi di dalam tubuh (hati) dan dapat kambuh selama 3 tahun ke depan; merupakan penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium Ovale
Spesies ini jarang, tapi bisa pula bersembunyi di dalam tubuh, menyerupai plasmodium vivax, merupakan penyebab malaria ovale.
4. Plasmodium Malariae
Spesies ini dapat bersembunyi dalam aliran darah selama bertahun-tahun tanpa menimbulkan gejala, walaupun orang yang setelah terinfeksi dapat menularkan ke orang lain melalui gigitan nyamuk atau transfusi darah. Secara khas paroksismal dan hampir-hampir tidak pernah fatal, merupakan penyebab malaria kwartana.
Tiga infeksi terakhir dapat mengalami rekurensi berminggu-minggu, setelah terlihat penyembuhan dari suatu serangan primer secara jelas, berbeda dengan infeksi-infeksi Falciparum yang kecuali pada kasus strain-strain yang resisten terhadap obat, jarang mengalami rekrudesensi setelah pemberian obat standar. (Iskandar zulkarnain, 1993)
E. Fase – fase perkembangan plasmodium
1. Fase aseksual
a) Daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit)
b) Daur dalam sel parenkim hati (skizogoni ekso-eritrosit) atau standar jaringan dengan :
a. Skizogoni pra-eritrosit (skizogoni ekso-eritrosit primer) setelah sporozoit masuk dalam sel hati.
b. Skizogoni eksoeritrosit sekunder yang berlangsung dalam hati.
Hasil penelitian pada malaria primata menunjukkan bahwa ada 2 populasi sporozoit yang berbeda, yaitu sporozoit yang secara langsung mengalami pertumbuhan dan sporozoit yang tetap “tidur” (dormant) selama periode tertentu (disebut hipnozoit), sampai menjadi aktif kembali dan mengalami pembelahan skizogoni. Pada infeksi plasmodium falciparum dan plasmodium malariae hanya terdapat satu generasi aseksual dalam hati tidak dilanjutkan lagi. Pada infeksi plasmodium vivax dan plasmodium ovale daur eksoeritrosit berlangsung terus sampai bertahun-tahun melengkapi perjalanan penyakit yang dapat berlangsung lama (bila tidak diobati) disertai banyak relaps.
Parasit dalam Hospes Vertebrata (Hospes Perantara)
Fase Jaringan. Bila nyamuk Anopheles betina yang mengandung parasit malaria dalam kelenjar liurnya menusuk Hospes, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk melalui probosis yang ditusukkan ke dalam kulit. Sporozoit segera masuk dalam peredaran darah dan stelah ½ jam sampai dengan 1 jam masuk dalam sitoplasma sel hati untuk bermultiplikasi dan berkembangbiak menjadi skizon jaringan. Banyak yang dihancurkan oleh Fagosit, tetapi sebagian masuk dalam sel hati dan berkembangbiak. Proses ini disebut skizogoni pra-eritrosit. Inti parasit membelah diri berulang-ulang dan skizon jaringan (skizon hati) berbentuk bulat atau lonjong, menjadi besar sampai berukuran 45 mikron. Pembelahan inti disertai oleh perbelahan sitoplasma yang mengelilingi setiap inti sehingga terbentuk beribu-ribu merozoit berinti satu dengan ukuran 1,0 sampai dengan 1,8 mikron. Inti sel hati terdorong ke tepi tetapi tidak ada reaksi di sekitar jaringan hati. Fase ini berlangsung beberapa waktu, tergantung dari spesies parasit malaria.
Skizoni Jaringan Pada Malaria
Spesies | Fase Pra-Eritrosit | Besar Skizon | Jumlah Merozoit |
P. Vivax | 6-8 hari | 45 mikron | 10.000 |
P. Falciparum | 5 ½ -7 hari | 60 mikron | 40.000 |
P. Malariae | 12-16 hari | 45 mikron | 2000 |
P. Ovale | 9 hari | 70 mikron | 15.000 |
Pada akhir fase pra-eritrosit, skizon pecah, beribu-ribu merozoit keluar dan masuk di peredaran darah. Sebagian besar menyerang dan menembus sel-sel eritrosit yang berada di sinosoid hati tetapi beberapa difagositosis (stadium eritrositen).
Pada plasmodium vivax dan plasmodium ovale sebagian sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu (beberapa bulan sampai 5 tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni ekso-eritrosit sekunder, proses ini dianggap sebagai penyebab timbulnya relaps jangka panjang (Long Term Relapse) atau rekurens (recurrence). Plasmodium Falciparum dan plasmodium Malariae tidak mempunyai fase ekso-eritrositik, dan relaps disebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik yang menetap dalam sirkulasi mikrokapiler jaringan. Kenyataan berikut ini menunjang bahwa rekurens (Long Term Relaps) tidak ada pada infeksi Plasmodium Malariae :
a. Infeksi malaria dapat disembuhkan dengan obat skizontosida darah saja.
b. Tidak pernah ditemukan skizon ekso-eritrositik dalam hati manusia atau simpanse setelah siklus pra-eritrositik.
c. Parasit menetap dalam darah untuk jangka waktu panjang yang dapat dibuktikan pada beberapa kasus malaria transfusi.
Merozoit dilepaskan oleh skizon jaringan dan mulai menyerang eritrosit. Invasi merozoit bergantung pada interaksi reseptor pada eritrosit, glikoforin dan merozoit sendiri.
Sisi anterior merozoit melekat pada membran eritrosit, kemudian membran merozoit menebal dan bergabung dengan membran plasma eritrosit, lalu melakukan invaginasi, membentuk vakuol dengan parasit yang berada di dalamnya.
Pada saat merozoit masuk, selaput permukaan dijepit sehingga lepas. Seluruh proses ini berlangsung selama kurang lebih 30 detik. Stadium termuda dalam darah berbentuk bulat, kecil. Beberapa diantaranya mengandung vakuol sehingga sitoplasma terdorong ke tepi dan inti berada di kutubnya. Oleh karena sitoplasma mempunyai bentuk lingkaran, maka parasit muda disebut bentuk cincin. Selama pertumbuhan, bentuknya berubah menjadi tidak teratur. Stadium muda ini disebut Trofozoit. Parasit mencernakan hemoglobin dalam eritrosit dan sisa metabolisme berupa pigmen malaria (hemozin dan hematin). Pigmen yang mengandung zat besi dapat dilihat dalam parasit sebagai butir-butir berwarna kuning tengguli hingga tengguli hitam makin jelas pada stadium lanjut.
Setelah masa pertumbuhan, parasit berkembangbiak secara aseksual melalui proses pembelahan yang disebut skizogoni. Inti parasit membelah diri menjadi sejumlah inti yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan pembelahan sitoplasma untuk bentuk skizon. Skizon matang mengandung bentuk-bentuk bulat kecil, terdapat inti dan sitoplasma yang disebut merozoit. Tropozoit muda atau bentuk cincin menjadi tropozoit tua lalu menjadi skizon dan akhirnya skizon ini kemudian pecah melepaskan 6-24 merozoit ke sirkulasi. Merozoit ini memasuki eritrosit lain dan mengulangi fase skizogoni selama infeksi dan menimbulkan parasitemia yang meningkat dengan cepat sampai proses dihambat oleh respon imun hospes.
Perkembangan parasit dalam eritrosit menyebabkan perubahan pada eritrosit, yaitu menjadi lebih besar, pucat dan bertitik-titik pada plasmodium vivax. Perubahan ini khas untuk spesies parasit. Periodisitas skizogoni berbeda-beda tergantung dari spesiesnya. Daur skizogoni (fase eritrosit) berlangsung 48 jam pada plasmodium vivax dan plasmodium ovale, kurang dari 48 jam pada plasmodium falciparum, dan 72 jam pada plasmodium malariae. Pada stadium permulaan infeksi dapat ditemukan beberapa kelompok (Broods) parasit yang tumbuh pada saat yang berbeda-beda sehingga gejala demam tidak menunjukkan periodisitas yang khas. Kemudian, periodisitasnya menjadi lebih sinkron dan gejala demam memberi gambaran tertiana atau kuartana.
2. Fase Aseksual dalam Darah
Setelah 2 atau 3 hari generasi (3-15 hari) merozoit dibentuk, sebagian merozoit tumbuh menjadi berbentuk seksual. Proses ini disebut gametogani (gametositogenesis). Bentuk seksual tumbuh tetapi intinya tidak membelah. Sebagian merozoit berdiferensiasi menjadi gamet jantan dan betina yang berpindah ke nyamuk pada saat nyamuk menggigit pasien. Dengan demikian siklus seksual dimulai. Gametosit berdiferensiasi lebih lanjut menjadi gamet jantan dan betina. Pembuahan terjadi dalam usus nyamuk.
Dalam lambung nyamuk, makrogametosit dan mikrogametosit berkembang menjadi makrogamet dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookinet. Selanjutnya ookinet akan menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit, lalu sporozoit akan dilepaskan dan masuk ke dalam air liur nyamuk dan menginfeksi manusia lain melalui gigitan nyamuk.
Gametosit mempunyai bentuk yang berbeda pada berbagai spesies. Pada plasmodium falciparum bentuknya seperti sabit atau pisang bila sudah matang, pada spesies lain bentuknya bulat. Pada semua spesies plasmodium dengan pulasan khusus, gametosit betina (makrogametosit) mempunyai sitoplasma berwarna biru dengan inti kecil padat, dan pada gametosit jantan (mikrogametosit) sitoplasma berwarna biru pucat atau merah muda dengan inti besar dan difus. Kedua macam gametosit mengandung banyak butir-butir pigmen.
3. Cara infeksi
I. Secara alami melalui vektor, bila sporozoit dimasukkan ke dalam badan manusia dengan tusukan nyamuk.
II. Secara induksi (induced), bila stadium aseksual dalam eritrosit masuk dalam badan manusia, misalnya dengan transfusi, suntikan atau secara kongenital (bayi baru lahir mendapat infeksi dari ibu yang menderita malaria melalui darah plasenta), atau secara sengaja untuk pengobatan berbagai penyakit (sebelum PD II), demam yang timbul dapat menunjang pengobatan berbagai penyakit seperti lues dan sindrom nefrotik.
F. Patologi
Luasnya kerusakan eritrosit tergantung pada lama dan beratnya infeksi. Hemolisis sering mengarah pada peningkatan bilirubin serum dan pada malaria falciparum dapat sedemikian parahnya sehingga menimbulkan hemoglobinuria (Black Water Fever). Pada setiap infeksi malaria, derajat anemia yang disebabkan oleh penghancuran sel-sel oleh parasit. Perubahan-perubahan otogenik pada eritrosit oleh parasit kemungkinan menimbulkan hemolisis dan peningkatan flagilitas osmotis terjadi dalam semua eritrosit baik yang terinfeksi maupun tidak. Hemolisis juga dapat ditimbulkan oleh kuman atau primakuin pada penderita-penderita dengan defisiensi Glukosa-6 fosfat dehidrogenase herediter. Pigmen yang dikeluarkan ke dalam sirkulasi pada saat disintegrasi, berakumulasi dalam sel-sel retikuloendotelial limpa dimana folikel-folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik dalam sel Kupffer hati, dalam sumsum tulang, otak dan organ-organ lainnya. Timbunan pigmen-pigmen serta hemosiderin menimbulkan warna abu-abu pada organ-organ.
Delapan sampai dengan 18 jam setelah parasit memasuki eritrosit, sel-sel ini saling melekat satu sama lain serta cenderung melekat pada endotel sinus-sinus dan pembuluh-pembuluh darah terutama jika sirkulasi lambat. Sel-sel yang melekat itu terinfeksi dan tidak mampu kembali pada sirkulasi umum, meskipun parasit di dalamnya mengalami pematangan dengan cara normal. Dengan semakin banyak sel yang melekat, maka aliran dalam pembuluh secara progresif mengalami hambatan dan sumbatan bahkan dapat terjadi robekan.
Pada wanita hamil, kerusakan pada plasenta dapat menimbulkan kematian pada fetus atau kelahiran prematur. Bayi yang lahir aterm dari wanita yang terinfeksi mempunyai berat lahir lebih rendah dari bayi yang lahir dari ibu yang tidak terinfeksi dan hidup dalam kondisi yang sama.
Dilepaskannya merozoit pada tempat dimana sirkulasi mengalami perlambatan mempermudah invasi pada eritrosit terdekat, sehingga parasitemia falciparum terjadi lebih berat dibandingkan pada spesies lain dimana ruptur skizon-skizon memegang peranan pada sirkulasi aktif. Sementara pada falciparum menginvasi semua eritrosit tanpa memandang umur, P. vivax terutama menyerang retikulosit-retikulosit, dan P. malariae menyerang eritrosit matang, gambaran-gambaran yang cenderung membatasi parasitemia. Infeksi falciparum pada anak yang tidak imun dapat berkembang dengan kepadatan sebesar 500.000 parasit/mm3; sehubungan dengan itu, prognosisnya adalah buruk.
G. Patofisiologi
Patofisiologi pada malaria masih belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan hipotesis telah dikemukakan. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama mungkin berhubungan dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya eritrosit yang mengandung parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada mereka yang dapat tetap hidup. Peran beberapa mediator humoral masih belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam patogenesis demam dan peradangan. Skizogoni ekso-eritrositik mungkin dapat menyebabkan reaksi leukosit dan fagosit, sedangkan sprozoit dan gametosit tidak menimbulkan perubahan patofisiologik.
Patofisiologi malaria adalah multifaktoral dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Penghancuran eritrosit
Eritrosit dihancurkan tidak saja oleh pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosis yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intravaskular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang rupanya menyebabkan perubahan patofisiologi yang berhubungan dengan malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin asalnya dari rongga saluran pencernaan dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglikemia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = Adult Respiratory Disease Sindrom) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan P. falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endothelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P. falciparum dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung P. falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam organ tubuh, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi organ tubuh, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam organ tubuh.
Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi lebih permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut
H. Manisfestasi klinis
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodik, anemia dan splenomegali.
Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:
1. Masa inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit (terpendek untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya transfuse darah yang mengandung stadium aseksual).
2. Keluhan-keluhan prodromal
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas.
I. Gejala dan Tanda
Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara berurutan:
1) Periode dingin
Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
2) Periode panas
Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retro-orbital, muntah-muntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
3) Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3 hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis.
Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum. pada infeksi P. falciparum dapat meimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:
1) Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11.
2) Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10.000/µl.
3) Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan kreatinin >3mg%.
4) Edema paru.
5) Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
6) Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg diserta keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC.
7) Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8) Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis.
9) Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).
10) Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
11) Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler jaringan otak.
J. Diagnosis
Diagnosis malaria tergantung pada ditemukannya parasit malaria pada sediaan darah tepi. Plasmodium dapat dideteksi dan diidentifikasi secara mikroskopis dalam preparat darah yang diwarnai menurut Giemsa atau Wright. Ciri lainnya adalah adanya monosit yang berisi pigmen. Petunjuk penting, terutama untuk malaria kronis berupa timbulnya antibodi spesifik. Kini sedang dikembangkan tes ELISA untuk mendeteksi antigen dan metode untuk menemukan DNA parasit. Pasien baru dapat dinyatakan bebas malaria bila 2-3 preparat darah yang diambil tiap hari selama 3-4 hari memberikan hasil negatif pada tes pewarnaan.
Peranan diagnosis laboratorium terutama untuk menunjang penanganan klinis. Penunjang laboratorium terutama berguna untuk :
a. Diagnois pada kegagalan obat
b. Penyakit berat dengan komplikasi
c. Mendeteksi penyakit tanpa pemyulit di daerah tidak stabil atau daerah dengan transmisi rendah, dan untuk membedakan P. falciparum dan P. vivax di daerah dimana terdapat infeksi oleh kedua jenis parasit tersebut
K. Pengobatan
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun dan menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan. Atabrine (Quinacrine hidrochroliode) yang pada saat itu lebih efektif daripada quinine dan kadar racunnya lebih rendah. Sejak akhir PD II, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan Atabrine atau Quinine. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah daripada obat-obatan lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus.
Namun baru-baru ini strain plasmodium falciparum, organisme yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin, serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Vietnam, dan juga di Semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain plamodium falciparum. Sering dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, fakta bahwa beberapa jenis nyamuk pembawa (Anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida, seperti DDT, telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di beberapa negara tropis. Sebagai akibatnya kasus penyakit malaria juga mengalami peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga diantara pengungsi-pengungsi dari daerah tersebut. Para turis yang datang ke tempat yang dijangkiti oleh penyakit malaria yang tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria sepert profilaksis (obat pencegah).
Pengobatan malaria menurut keperluannya dibagi menjadi pencegahan bila obat diberikan sebelum infeksi terjadi, pengobatan supresif bila obat diberikan untuk mencegah timbulnya gejala klinis, pengobatan kuratif untuk pengobatan infeksi yang sudah terjadi terdiri dari serangan akut dan radikal, dan pengobatan untuk mencegah transmisi atau penularan bila obat digunakan terhadap gametosit dalam darah.
Sedangkan dalam program pemberantasan malaria dikenal 3 cara pengobatan, yaitu:
1. Pengobatan presumtif dengan pemberian skizontisida dosis tunggal untuk mengurangi gejala klinis malaria dan mencegah penyebaran.
2. Pengobatan radikal diberikan untuk malaria yang menimbulkan relaps jangka panjang.
3. Pengobatan massal digunakan pada setiap penduduk di daerah endemis malaria secara teratur. Saat ini pengobatan massal hanya di berikan pada saat terjadi wabah.
Obat antimalaria terdiri dari 5 jenis, antara lain :
1) Skizontisid jaringan primer yang membasmi parasit pra-eritrosit, yaitu proguanil, pirimetamin
2) Skizontisid jaringan sekunder yang membasmi parasit ekso-eritroit, yaitu primakuin
3) Skizontisid darah yang membasmi parasit fase eritrosit, yaitu kina, klorokuin, dan amodiakuin
4) Gametosid yang menghancurkan bentuk seksual. Primakuin adalah gametosid yang ampuh bagi keempat spesies. Gametosid untuk P.vivax, P.malaria, P.ovale, adalah kina, klorokuin, dan amidokuin
5) Sporontosid mencegah gametosid dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoid dalam nyamuk anopheles, yaitu primakuin dan proguanil.
L. Pencegahan
1) Pemakaian obat anti malaria.
2) Menghindari gigitan nyamuk dengan anti nyamuk.
3) Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam stadium pada perjalanan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria di tujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu: proteksi terhada ketiga stadium parasit dan rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan.
M. Prognosis
Prognosis malaria yang disebabkan oleh P. vivax pada umumnya baik, tidak menyebabkan kematian, walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps, sedangkan P. Malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan relaps, pernah dilaporkan sampai 30-50 tahun. Infeksi P. falciparum tanpa penyulit berlangsung sampai satu tahun. Infeksi P. falciparum dengan penyulit prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar